SUARAPUBLIC–Kabar mengenai reshuffle kabinet yang beredar menjelang berakhirnya 100 hari pemerintahan SBY, ternyata hanya isu. Reshuffle disebut-sebut berlaku bagi menteri yang kinerjanya di bawah standar, terutama yang berasal dari koalisi partai. Tapi isu ini dibantah.
Seperti diketahui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam sebuah pidato kenegaraan beberapa waktu lalu, mengungkapkan segera melakukan evaluasi terhadap kinerja para menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Kebijakan evaluasi ini diambil terkait pencapaian program 100 hari pemerintahannya.
Pernyataan inilah yang kemudian memicu kabar reshuffle, mengulang apa yang terjadi pada KIB I. Apalagi pada kesempatan tersebut, SBY sendiri yang menyebutkan, dirinya akan mempertimbangkan untuk meninjau ulang posisi menteri yang prestasinya jeblok.
Tapi isu ini buru-buru dibantah Hatta Rajasa. Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian. Pria yang baru saja terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini, justru menilai Presiden SBY takkan mengambil langkah yang akan memperlemah kinerja kabinet. "Presiden lebih tahu. Kalau pun akan ada reshuffle, itu hak prerogatif presiden," ujar Hatta.
Sedangkan Pengamat politik dari UGM Dr Gaffar Karim, memandang sebaliknya. Peluang terjadinya reshuffle, cukup besar. Sebab, reshuffle bukan hal yang asing dan tabu jika presiden mau melakukan. Apalagi terhadap menteri yang tidak sanggup melaksanakan program 100 hari pemerintahan.
Hanya saja, lanjut Karim, pelaksanaan reshuffle ini tak mudah, karena SBY harus mempertimbangkan implikasi politik jika kemudian menteri pengganti ternyata tidak lebih baik. Belum lagi tekanan-tekanan politik yang harus dihadapi.
Tapi secara umum, Karima menilai, sampai sejauh ini tidak ada menteri yang benar-benar menonjol prestasinya. Sebaliknya pula tak ada menteri yang bermasalah. KIB II lebih terpontang-panting menghadapi isu politik.(*)
|
Posting Komentar
Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan editorial redaksi SUARAPUBLIC. Redaksi berhak mengubah kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan