SUARAPUBLIC - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, sebanyak lima orang wartawan meninggal dunia atau hilang, karena diduga akibat kriminalisasi pers di Indonesia sejak 1989 hingga 2009.
Pengurus Divisi Advokasi AJI Indonesia, Eko Maryadi dalam "Pelatihan Hukum Pers Untuk Jurnalis" yang digelar AJI di Padang, mengatakan, satu dari lima kasus tersebut terjadi sebelum UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers disahkan, dan empat lagi justru setelah UU Pers disahkan
Korban-korban kriminalisasi pers tersebut yakni Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta pada tahun 1989 dan para pelakunya hingga kini belum terungkap. Udin tewas diduga terkait berita yang ditulisnya tentang kasus korupsi di Bantul, Yogyakarta.
Kemudian, reporter stasiun televisi nasional RCTI, Sory Ersa Siregar yang tewas setelah diculik oleh pihak yang belum juga terungkap hingga saat ini, ketika yang bersangkutan meliput konflik Aceh di Langsa pada tahun 2003. Ersa ditemukan tewas dalam baku tembak di Kuala Maniham, Simpang Ulim, Aceh Timur, pada 29 Desember 2003. Hingga saat ini pelaku kriminalisasi itu belum juga terungkap.
Lalu, tambahnya, wartawan koran Berita Sore, Medan, Elyudin Telaumbanua diculik pihak tak dikenal di Pulau Nias, Sumatra Utara pada tahun 2005. Elyuddin diculik sekelompok orang di Teluk Dalam, Nias Selatan pada 24 Agustus 2005 dan hingga kini belum ditemukan.
Wartawan lain yang menjadi korban meninggal dunia akibat kriminalisasi pers yakni HerliYanto dari Tabloid Delta Post Sidoarjo, Jawa Timur, pada 2006.
Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo yang menyidangkan kasus tersebut membebaskan dua pelaku dari tuntutan hukum karena tidak cukup bukti. Herliyanto ditemukan tewas pada 29 April 2006 di dalam hutan jati Desa Tarokan, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Korban lain adalah Anak Agung (AA) Gde Bagus Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali (Jawa Pos Group) pada 2009. Hingga kini PN Denpasar, Bali masih menyidangkan 10 pelaku dalam kasus itu. Prabangsa ditemukan tewas mengambang di permukaan laut, 16 Februari 2009. Diduga kematian korban terkait berita kasus korupsi yang ditulisnya.
Eko menyebutkan, untuk menghindari kriminalisasi pers maka diperlukan advokasi yang dimulai dari jurnalis sendiri. Bentuk advokasi ini antara lain memverifikasi informasi, menuliskan pesan pendek sebagai tanda peringatan, investigasi kasus, publikasi dan kampanye, menuntut ke pengadilan dan pendampingan korban.
Direktur Eksekutif, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Indonesia, Hendrayana mengatakan, meski telah ada UU No.40/1999 tentang pers namun ancaman pidana kepada kalangan jurnalis tetap ada, karena terdapat 32 pasal dalam KUHP yang dapat menjerat kebebasan pers di Indonesia.
32 pasal itu, kata Hendrayana, merupakan delik pers sebagai bentuk ancaman tindakan pidana yang berhubungan dengan pers. Prinsipnya, terminologi delik pers bukan terminologi hukum, tapi dalam parkteknya muncul karena diperkenalkannya pasal 61 dan pasar 62 KUHP. Dua pasal itu mengatur kejahatan yang dilakukan dengan percetakan atau penerbitan.(*)
DISTRIBUTOR ARMOURA OBAT KECANTIKAN DAN DIET MENCERAHKAN KULIT COLLAGEN DAN
PLUM ORIGINAL ORIGINAL RESMI
-
Agen resmi armoura ramuan pelangsing badan mencegah penuaan dini collagen
dan plum original. Armoura minuman pelangsing dan kecantikan dan pemutih
wajah ...
Posting Komentar
Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan editorial redaksi SUARAPUBLIC. Redaksi berhak mengubah kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan